Pages

Ngobrol gado-gado

Senin, 14 Januari 2013

Ilomata, desa terpencil di sudut Gorontalo

Minggu pagi, mama mengajak saya untuk ikut bersama dengannya ke suatu daerah terpencil. Perjalanan rencananya akan dimulai besok pagi. Dan tujuan beliau adalah untuk memberikan ujian semester untuk para 'siswa' KF (Keaksaraan Funfsional atau yang biaa disebut buta huruf) yang berada di daerah tersebut sekaligus mengunjungi sebuah sekolah Kelompok Bermain (playgroup) yang berada dibawah bimbingan mama. Maklum saja, mama adalah seorang penilik PNF (Pendidikan Non Formal) yang khusus mengawasi lembaga-lembaga non formal termasuk Paket A B C, KF, dan PAUD (tidak termasuk TK).

Desa Ilomata adalah daerah paling pedalaman yang berada di kecamatan Bulango Ulu. Sebelum adanya pemekaran, desa ini masih tergabung dengan nama Mongiilo. Dulu, sewaktu saya masih SD, jika mendengar nama 'Mongiilo' yang terlintas adalah sebuah pedalaman yang harus menyeberang sungai 9x dan tanpa ada kenderaan yang bisa kesana dengan jarak tempuh berjam-jam. Sewaktu saya SD, teman-teman saya sering ledek-ledekkan dengan berteriak "Ah dasar kamu orang Mongiilo". Bukan karena memang berasal dari Mongiilo, tapi karena kenangan kami tentang orang Mongiilo adalah orang yang gampang sekali dikenali ketika berpapasan di jalanan. Mata mereka tidak berhenti memandang ke kiri dan ke kanan seakan kagum dengan apa yang mereka lihat, karena tidak ada yang seperti itu didaerah mereka. Belum lagi dandanan para anak kecil sampai gadis dengan gincu merah menyala mereka. Saya selalu penasaran bagaimana mereka dapat sekuat itu berjalan, dan bahkan tidak terlihat sedikitpun semburat capek dari wajah mereka. Kulit mereka bersih, walaupun berwarna gelap. Saya selalu ingin mencoba mengikuti mereka sampai pulang ke desanya.
Nah lanjut. Sekarang akses ke desa itu sudah lumayan bagus. Jika dulu hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki, sekarang kenderaan dengan roda empat bahkan sudah bisa kesana, meskipun harus tetap berhati-hati. Untuk sampai di Owata dan Mongiilo sudah tidak perlu lagi menyeberangi sungai karena beberapa sungai sudah dikeringkan, tapi jika harus ke Ilomata, kami harus menyeberang sungai 2 kali.
Senin sore hujan turun lumayan deras. 2 ojek sudah menunggu kami sedari tadi. Kami memutuskan untuk tetap menerobos hujan karena langit mulai gelap yang alan makin mempersulit perjalanan. Pacar saya sudah mewanti-wanti bahwa ke Mongiilo dengan kondisi hujan deras apalagi sudah mulai gelap ini bukan ide bagus. Tanah longsor menjadi ancaman besar, dan jalanan yang licin juga menambah berat jalan yang akan di lalui. Benar saja, sepanjang perjalanan saya tidak melepaskan cengkeraman dari pegangan yang ada di belakang motor dan membiarkan kepala saya basah kuyup. Ini benar-benar perjalanan yang menegangkan. Tidak cukup sampai di situ, saya terus-terusan memandang ke belakang, ke arah dimana lampu ojek motor yang membawa mama berpendar. Terus-terusan mengkhawatirkan mama dan terus berdoa semoga beliau baik-baik saja. Setiap lampu menghilang, saya serta merta langsung menengok ke belakang, dan ternyata motor yang memboncengi mama masih beradabdi balik bukit yang lain. Ketinggalan jauh. dan lagi-lagi saya meminta tukang ojek untuk berhenti sebentar menunggu mereka, dengan keengganannya dia pun akan berhenti. Gimana engga serem, sebelah kiri adalah jurang, sedangkan sebelah kanan adalah gunung yang sewaktu-waktu bisa longsor (karena beberapa memang terkenal sering longsor). Jalan bekas longsoran menjadi licin karena air hujan, dan kami beberapa kali harus melewati jalan tanah yang mengancam ban motor untuk terpeleset. Belum lagi ada jalan yang tanahnya sudah longsor sehingga ruas jalan semakin sempit. Dengan penerangan motor seadanya, yang belum berpengalaman jangan harap bisa selamat disini.
1 jam yang penuh perjuangan dan memompa adrenalin itu berakhir sudah. Kami menepi di sebuah rumah milik seorang penduduk yang terpandang di daerah Owata. Kami tidak langsung ke Ilomata karena ada kelompok yang harus ujian semester KF disini. Pukul 8 para warga belajar yang akan mengikuti ujian sudah berkumpul, dan mama memulai kegiatan tersebut. Saya mulai memakan pisang terapi saya, dan tidak lama masuk ke kamar tidur yang sudah disediakan tuan rumah. Lampu di daerah itu akan mati pukul 11 malam, saya tidak mau mengambil resiko yang sama seperti sewaktu di Togean. Saya tertidur pulas malam itu.
Besok pagi, setelah mengunjungi beberapa lembaga kelompok bermain yang berada dibawah bimbingan mama, kami melanjutkan perjalanan ke Ilomata. Sebelumnya saya mengamati motornya tukang ojek yang memboncengi mama, dan tersenyum lega begitu melihat roda ban motor itu yang bergerigi. Seketika saya tahu mama berada di motor yang tepat (eh), dan tidak perduli dengan kondisi motor yang saya naiki.
Ban motor milik ojek yang membonceng mama
Memasuki mongiilo, kami harus menyeberang sungai pertama. Syukurlah motor sudah bisa melewati sungai ini karena ada rakit yang khusus menyeberangkan motor dan orang. Untuk menyeberang ke arah Ilomata, kami tidak akan di mintai bayaran. Pembayaran berlaku jika di penyeberangan sebaliknya, jika kami bermaksud keluar dari Ilomata. Harganya adalah 2000 rupiah/ orang atau /motor. Ada 2 rakit yang beroperasi, dan arus sungai saat itu sedukit deras.

Jalan ke arah Ilomata kebanyakan adalah jalan setapak. Tapi ada beberapa jalan curam yang sudah di cor oleh PNPM Mandiri, yang memudahkan pengendara motor untuk tidak lagi terpeleset saat hujan turun dan jalan tanah itu menjadi licin. Oh ya, Mongiilo dan sekitarnya sudah tidak seperti yang ada di dalam bayangan saya dulu. Kini desa terpencil itu sudah mulai ada peradaban. Hampir setiap rumah sudah memiliki motor. Beberapa tahun yang lalu, tiap rumah menggunakan listrik tenaga surya yang merupakan bantuan dari pemerintah. Alatnya penangkap tenaga surya-nya masih bagus, tapi AKI-nya sudah kering karena susah mencari air aki dulu. Sekarang penduduk menggunakan generator besar yang juga merupakan bantuan PNPM, dan masing-masing rumah setiap 10 hari membayar sebesar 15 ribu/ rumah, dan 17.500 /rumah yang mempunyai tv di dalamnya. Iya, tv. Bahkan beberapa sudah menggunakan Matrix atau Indovision di rumahnya. Woww... Bahkan di rumah saya hanya menggunakan tv kabel.
Jalanan berbatu dan kadang tanah itu tidak seburuk seperti perjalanan kemarin. Untunglah cuaca sedang terik. 45 menit kemudian kami tiba di rumah kepala desa, dan disuguhi makanan enak, karena memang biasanya makanan yang dimasak beberapa orang yang berada di daerah terpencil rasanya masih sangat enak. Sorenya kami menonton pertandingan volly didepan rumah ibu kepala desa, dan kagum karena anak kecil pun sangat jago main volly. Mama pun dulu adalah pemain volly tangguh. Entah kenapa anak perempuan satu-satunya ini malah sama sekali ga bisa main volly. Saya ingat dulu di sekolah, saya selalu banyak alasan untuk ga ikut pelajaran olahraga jika permainannya adalah volly, namun yidak berkutik ketika permainan itu menjadi salah satu syarat lulus ujian praktek olahraga. Bedanya dengan volly, saya lebih jago main basket atau bola kasti. Ketika ada pertandingan basket antar kelas setelah ujian semester dilaksanakan, tim kelas kami adalah juara untuk kategori tim putri-nya. Bukannya mau membanggakan diri, tapi mungkin bisa tanya ke teman-teman saya siapa yang banyak mencetak gol dan yang paling lincah diantara tim lain. Hihihi...
Sedangkan permainan bola kasti adalah permainan kesukaan saya di SD dulu, dimana saya yang kecil susah untuk ditangkap karena suka banting sana banting sini. Hihihi lagi...
Saya kagum dengan orang-orang ini, dan terlepas dari tidak ada listrik, sebenarnya saya akan betah berlama-lama disini. Tidak bising. Penduduknya masih sangat-sangat ramah. Nonton tv ramean tiap malam. Aman. Kompak. Kondisi kayak gini bikin saya inget saat masih kecil, dimana fi tempat saya dulu pun seperti ini.
Pukul 11 malam listrik dimatikan. Saya baru sadar 2 hari sudah saya menghilang dari data di satelit karena sinyal tidak dapat menjangkau hp saya. 2 hari sudah tidak mendengar kabar dari dia. Dan tiba-tiba saya merindukan si Gemini.

Dan saya pun kembali menenggak obat tidur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar